education of health
World Health
 
I.  Pendahuluan
Batuk darah adalah suatu gejala yang paling penting pada penyakit paru karena :

Adanya bahaya potensial terhadap perdarahan yang gawat

Hampir selalu hemoptysis disebabkan oleh penyakit bronkopulmonal

Oleh sebab itu perlu dibuktikan apakah benar bahwa darah berasal dari saluran pernafasan bagian  bawah

Apakah benar-benar batuk darah dan bukan muntah darah

II.  Definisi 
Hemaptoe adalah batuk darah yang terjadi karena penyumbatan trakea dan saluran nafas sehingga timbul sufokal yang sering fatal. Ini terjadi pada batuk darah masif yaitu 600-1000cc/24 jam. Batuk darah pada penderita TB paru disebabkan oleh terjadinya ekskavasi dan ulserasi dari pembuluh darah pada dinding kapitas.(Hood Al sagaff dkk:1995;85-86).

Hemoptisis adalah darah atau dahak berdarah yang dibatukkan berasal dari saluran pernafasan bagian bawah yaitu mulai dari glottis kearah distal, batuk darah akan berhenti sendiri jika asal robekan pembuluh darah  tidak luas , sehingga penutupan luka dengan cepat terjadi . (Hood Alsagaff, 1995, hal 301)

Batuk darah adalah suatu keadaan menakutkan/mengerikan yang menyebabkan beban mental bagi penderita dan keluarga penderita sehingga menyebabakan takut untuk berobat ke dokter .

Klien menahan batuk karena takut kehilangan darah yang lebih banyak sehingga menyebabkan penyumbatan karena bekuan darah.

Sebetulnya sudah ada penyakit dasar tetapi keluhan penyakit tidak mendorong berobat ke dokter.

Batuk darah pada dasarnya akan berhenti sendiri asal tidak ada robekan pembuluh darah,berhenti sedikit-sedikit pada pengobatan penyakit dasar.

III  Etiologi 
Berdasar etiologi  maka dapat digolongkan :

1.      Batuk darah idiopatik.

2.      Batuk darah sekunder.

Ad 1.  Batuk darah idiopatik.

            Yaitu batuk darah yang tidak diketahui penyebabnya:

              _ insiden 0,5  sampai  58%   {+ 15 %}

              _ pria :wanita = 2 : 1

              _ umur 30- 50 tahun kebanyakan 40-60 tahun

             _  berhenti spontan dengan suportif terapi.

Ad  2.  Batuk darah sekunder.

             Yaitu batuk darah yang diketahui penyebabnya

a.       Oleh karena keradangan , ditandai  vascularisasi arteri bronkiale > 4% {normal 1%}

TB è batuk sedikit-sedikit èmasif darah melulu, bergumpal.

Bronkiektasis ®campur purulen

Apses paru ®campur purulen

Pneumonia®warna merah bata encer berbuih

Bronkitis®sedikit-sedikit campur darah atau lendir

b.      Neoplasma

_ karsinoma paru

_ adenoma

c.       Lain-lain:

_ trombo emboli paru – infark paru

_ mitral stenosis

_ kelainan kongenital aliran darah paru meningkat

   @ ASD

    @ VSD

_trauma dada

     ¨tumpul: perlukaan oleh costa

     ¨tajam : tusukan benda tajam

_hemorhagic diatese

_hipertensi pulmonal primer

Pembagian lain

Berdasar jumlah darah:

PURSEL :

1.         Blood streak

2.         minimal 1-30 cc

3.         mild 30-150 cc

4.         moderate 150-500 cc

5.         massive 600 cc

JOHNSON :

1.         Singgle     : kurang dari 7 hari

2.         Repeated : lebih dari 7 hari dengan interfal 2-3 hari

3.         Frank                    : darah melulu tanpa dahak

RSUD Dr. Sutomo SMF paru > 90% disebabkan :

1.      TB Paru

2.      Karsinoma paru

3.      Bronkiektasis

4.      Mitral stenosis

Patogenesis Tergantung dr penyakit yang mendasarinya.

Gejala klinis Kita harus memastikan bahwa perdarahan dari nasofaring ,dengan cara membedakan ciri-ciri sebagai berikut :

·         Batuk darah

  1. Darah dibatukkan dengan rasa panas di tenggorokan
  2. Darah berbuih bercampur udara
  3. Darah segar berwarna merah muda
  4. Darah bersifat alkalis
  5. Anemia kadang-kadang terjadi
  6. Benzidin test negatif
·         Muntah darah

  1. Darah dimuntahkan dengan rasa mual
  2. Darah bercampur sisa makanan
  3. Darah berwarna hitam karena bercampur asam lambung
  4. Darah bersifat asam
  5. Anemia seriang terjadi
  6. Benzidin test positif
·         Epistaksis

  1. Darah menetes dari hidung
  2. Batuk pelan kadang keluar
  3. Darah berwarna merah segar
  4. Darah bersifat alkalis
  5. Anemia jarang terjadi


Anamnesis 
1.      Dari anamnesis dipastikan asal darah

2.      Jumlah darah yang keluar, bentuk,warna,lama.

3.      Penyakit batuknya

4.      Disertai nyeri dada

5.      Hubungan dengan kerja,istirahat,posisi penderita

6.      Hubungan penyakit masa lalu

7.      Anamnesa merokok

Pemeriksaan fisik
#  Panas, berarti ada proses peradangan

#  Auskultasi: terdengar bunyi Rales

-          Kemungkinan menujukkan lokasi

-          Ada aspirasi

-          Ronki menetap, wheezing lokal, kemungkinan penyumbatan oleh : Ca, bekuan darah

-          Friction rub:emboli paru ,infark paru

#  Clubbing finger: bronkiektasis, neoplasma

Laboratorium:

-          Hb

-          Faal homeostasis dll  menurut dugaan

Radiologi :

-          tergantung etiologi :  X-photo thorak, PA Lateral

                                                                  CT- scan

Pemeriksaan lain khusus :

-          anamnesa : memastikan asal darah, berulang, jumlah, warna, menahun dll

-          pemeriksaan fisik : kemungkinan penyebab

-          X-photo thorak : PA/Lateral, brokografi dll

-          Pemeriksaan sputum bakteriologi, sitologi

-          Bronkoskopi

Komplikasi :

-          Bahaya utama batuk darah adalah terjadi penyumbatan trakea dan saluran nafas, sehingga timbul sufokasi yang sering fatal. Penderita tidak nampak anemis tetapi sianosis, hal ini sering terjadi pada batuk darah masif (600-1000 cc/24 jam)

-          Pneumonia aspirasi merupakan salah satu penyulit yang terjadi karena darah terhisap kebagian paru yang sehat

-          Karena saluran nafas tersumbat, maka paru bagiandistal akan kolaps dan terjadi atelektasis

-          Bila perdarahan banyak, terjadi dalam waktu lama.

Penatalaksanaan Tujuan Umum :

1.      membebaskan jalan nafas

2.      mencegah aspirasi

3.      menghentikan perdarahan dan pengobatan penyakit dasar.

Konservative       
~ Hemoptoe sedikit (<200ml/24jam} dapat berhenti

                  -obat: codein, doveri, penyakit dasar

                 - diminta tenang, istirahat total, kalau perlu obat penenang

~  Tidur setengah duduk:

         13-31% hemopthoe berhenti sendiri MRS 1-4 hari,

           87 % berhenti sendiri setelah 4hari MRS

 ~  Infus atau transfusi

Batuk darah masif:

-          tidur trendelenburg ke arah sisi yang sakit{agar tidak aspirasi ke paru yang sehat}

-          infuse, penghisapan darah , pengambilan bekuan

-          waktu dulu setelah penderita agak tenang

kolaps terapi: pnumoperitonium, pneumothoraks artifisial, operasi N. phrenicus

! Tindakan-tindakan lebih agresif

        -rigid bronkoskopi,jalan nafas terbuka dan penghisapan darah lebih mudah

        -FOB untuk suction darah dan mencari lokasi perdarahan + dengan endotrakeal tube untuk keluar.     

          Masuk FOB lebih mudah

         -pasang endotrakeal tamponade {balon kateter tamponade}

         - reseksi paru

         -embolisasi a. bronkialis

Prognose 
-          hemopthoe<200ml/24jam®supportifve baik

-          profuse massive >600cc/24jam®prognose jelek 85% meninggal

                               *   dengan bilateral far advance

                               *   faal paru kurang baik

                               *   terdapat kelainan jantung




Daftar Pustaka

Alsagaff Hood, Abdul Mukty, (1995). Dasar – Dasar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press. Surabaya.

Amin muhammad, Hood Alsagaff. (1989). Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press. Surabaya.

Blac,MJ Jacob. (1993). l.uckman & Sorensen’s Medical surgical Nursing A Phsycopsicologyc Approach. W.B. Saunders Company. Philapidelpia.

Barbara Engram. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Vol. 1. Penerbit EGC. Jakarta.

Carpenito, L.J., (1999). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2. EGC Jakarta.

Mansjoer, Arif., et all. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius Jakarta.

Marylin E doengoes. (2000). Rencana Asuhan keperawatan Pedoman untuk Perencnaan /pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC.Jakarta.

Soeparman, Sarwono Waspadji. (1990). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Sylvia Anderson Price, Lorraine McCarty Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit. EGC. Jakarta.

Yunus Faisal. (1992). Pulmonologi Klinik. Bagian Pulmonologi FKUI. Jakarta.

 

I.       KONSEP MEDIK.
A.       Pengertian
Asma adalah penurunan fungsi paru dan hiperresponsivitas jalan napas terhadap berbagai rangsang. Karakteristik penyakit meliputi bronkhospasme, hipersekresi mukosa dan perubahan inflamasi pada jalan napas.(Campbell. Haggerety,1990; orsi 1991).

Banyak orang mengabaikan keseriusan penyakit ini. Perawatan di RS sering kali karena akibat dari pengabaian tanda penting ancaman serangan asma dan tidak mematuhi regimen terapeutik. Status asmatikus mengacu pada kasus asma yang berat yang tak berespon terhadap tindakan konvensional. Ini merupakan situasi yang mengancam kehidupan dan memerlukan tindakan segera.


B.     Etiologi.

Dua tipe dasar imunologik dan non imunologik .Asma alergik ( disebut ekstrinsik ) terjadi pada saat kanak – kanak terjadi karena kontak dengan elergan dengan penderita yang sensitive.

Asma non imunologik atau non alergik ( di sebut instrinsik ), biasanya terjadi pada  usia diatas 35 tahun. Serangan dicetuskan oleh infeksi pada sinus atau cabang pada bronchial.

Asma campuran yang serangannya diawali oleh infeksi virus atau bacterial atau oleh allergen. Pada saat lain serangan dicetuskan oleh factor yang berbeda atau juga dapat di cetuskan oleh perubahan suhu dan kelembaban, uap yang mengiritasi, asap, bau – bauan yang kuat, latihan fisik dan stress emosional.

C.    Patofisiologi.

Alergen masuk kedalam tubuh, kemudian allergen ini akan merangsang sel B untuk menghasilkan sat anti. Karena terjadi penyimpangan dalam system pertahanan tubuh maka  terbentuklah imoglobulin E (Ig. E).Pada penderita alergi sangat mudah memprouksi Ig. E. dan selai beredar didalam daerah juga akan menempel pada permukaan basofil dan mastosit.Mastosit ini amat penting dalam peranannya dalam reaksi alergi terutama terhadap jaringan saluan nafas, saluran cerna dan kulit.

Bila suatu saat penderita berhubungan dengan allergen lagi, maka allergen akan berikatan dengan Ig.E yang menempel pada mastosit, dan selanjutnya sel ini mengeluarkan sat kimia yang di sebut mediator ke jaringan sekitarnya. Mediator yang dilepas di sekitar rongga hidung akan menyebabkan bersin – bersin dan pilek. Sedangkan mediator yang dilepas pada saluran nafas akan menyebabkan saluran nafas mnengkerut, produksi lendir meningkat, selaput lendir saluran nafas membengkak dan sel – sel peradangan berkumpul di sekitar saluran nafas. Komponen – komponen itu menyebabkan penyimpitan saluran nafas.   


D.    Pemeriksaan penunjang.

§  Test fungsi paru ( Spirometer )
§  Foto thorax
§  Pemeriksaan darah (DL, BGA)
§  Test kulit
§  Test Provokasi bronkhial

E.     Manifestasi klinik

Gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan beratnya derajad hiperaktifitas bronkus.Obstruksi jalan nafas dapat revesible secara spontan maupun dengan pengobatan.

Gejala asma antara lain :

    a.       Bising mengi ( weezing ) yang terdengar atau tanpa stetoskop
    b.      Batuk produktif, sering pada malam hari
    c.       Sesak nafas
    d.      Dada seperti tertekan atau terikat
    e.       Pernafasan cuping hidung

F.      Terapi
  1.      Oksigen 4 – 6 liter / menit
  2.      Agonis B2 ( salbutamol 5 mg atau feneterol 2,5 mg atau terbulatin 10 mg ) intalasi nebulasi dan   
           pemberiannya dapa diulang setiap 20 menit sampai 1 jam. Pemberian agonis B2 dapat secara subcutan atau 
           iv dengan dosis salbutamol 0,25 mg atau terbulatin  0,25 mg dalam larutan dextrose 5 % dan diberikan 
           perlahan.
  3.      Aminofilin bolus iv 5 – 6 mg / kg BB, jika sudah menggunakan obat ini dalam 12 jam sebelumnya maka cukup 
           diberikan setengah dosis.
  4.      Kortikosteroid hidrokortison 100 – 200 mg iv jika tak ada respon segera atau pasien sedang menggunakan 
           steroid oral atau dalam serangan sangat berat.

II. KONSEP KEPERAWATAN


Pengkajian Data Dasar

1.         Riwayat pemajanan pada factor – factor yang biasanya mencetuskan  serangan asma

§  Stres emosi

§  Infeksi saluran nafas atas

§  Alergen

§  Kegagalan dalam pengobatan asma

2.         Pemeriksaan fisik yang didasarkan pada suatu pengkajian :

System pernafasan

Ø  Mengi yang terdengar tanpa bantuan stetoskop

Ø  Susah bernafas

Ø  Orthopnea

Ø  Penggunaan otot – otot asesori pernafasan (Cuping hidung, retraksi sterum, pengangkatan bahu sewaktu bernafas).

Sistem Hemodinamik

v  Dehidrasi

v  Sianosis

v  Diaforesis

v  Pulsus paradoksus (tekanan darah sistolik turun 10mmhg sesuai dengan  pernafasan ).

v  Takikardi

v  Ekspansi paru.

Sistem Perkemihan

v  Produksi urine

v  Frekuensi BAK.

Sistem kardiovaskuler

v  Heart rate

v  Irama

Psikososial

v  Gelisah

v  Ketakutan

v  Kecemasan

3. Pemeriksaan laboratorium

Ø  GDA menunjukan hipokapnea (Pa CO2 < 35 mmHg) disebabkan menurunnya perfusi ventilasi. Selanjutnya Pa CO2 meningkat di atas normal sesuai dengan meningkatnya tahanan jalan nafas.

Ø  Jumlah sel darah menunjukkan peningkatan eosinofil

Ø  Pemeriksaan fungsi paru menunjukan penurunan kakuatan kapasitas vital

Ø  Pengumpulan sputum untuk pemeriksaan kultur dan test sensitivitas untuk menentukan infeksi dan mengidentifikasi antimikroba yang cocok dalam mengobati infeksi yang terjadi

Ø  Sinar X perlu memperlihatkan disfensi alveoli.

4. Pada episode akut

Masalah kolaboratif;

Potensial komplikasi:

·         Hipoksemia

·         Gagal nafasa akut

5. Diagnosa Keperawatan

a.       Inefektif bersihan jalan nafas b.d. peningkatan produksi mucus, sekresi kental dan bronkospasme

b.      Resiko tinggi terhadap inefektif pola pernafasan b.d. peningkatan kerja pernafasan, hipoksemia, agitasi dan ancaman gagal nafas.

c.       Ansietas b.d. sulit bernafas dan rasa takut sufokasi.

d.      Gangguan pertukaran gas b.d. serangan asma menetap.

6. Intervensi dan rasionalisasi

a.       Pantau:

·         Status pernafasan setiap 4 jam.

·         Hasil BGA

·         Nadi oksimetri

·         Hasil sinar X dada, fungs paru dan analisa sputum

·         Intake dan output

Rasional: untuk mengidentifikasi ke arah kemajuan atau penyimpangan dari hasil pasien.

b.      Tempatkan pasien posisi fowlers.

Rasional: posisi tegak memungkinkan ekspansi paru lebih baik.

c.       Berikan oksigen melalui kanul nasal 4 l/mt, selanjutnya sesuaikan dengan hasil PaO2.

Rasional: pemberian tambahan oksigen mengurangi beban kerja otot-otot   pernafasan.

d.      Pemberian terapi intravena sesuai anjuran, lakukan perawatan infus.

Rasional : Untuk memungkinkan rehidrasi yang cepat dan dapat mengkaji keadaan vaskuler untuk pemberian obat – obatan darurat. Kebanyakan pasien telah mengalami dehidrasi ketika mereka meminta pertolongan medis.

e.       Berikan pengobatan yang telah ditentukan seperti Epineprin, Terbutalin, Aminophilin dan Kortikosteroid. Evaluasi keefektifannya, konsul dokter jika terjadi reaksi yang merugikan.

Rasional :  Epineprin dan terbutalin menghentikan reaksi alergi dan dilatasi bronkhiolus dengan meniadakan aktifitas histamin. Aminophilin melebakan bronkhiolus dengan merangsang peningkatan produksi sat kimia yang menghambat penyempitan otot bronchial. Kortikosteroid membantu mengurangi peradangan lapisan mucosa bonkial.

f.       Gunakan spirometer intensif setiap 2 jam.

Rasional : Untuk memudahkan nafas dalam dan mencegah eteletasis

g.      Konsul dokter jika gejala-gejala terjadi setelah 1 jam pemberian terapi atau bila kondisi jelek (Pa CO2 melebihi PaO2, apnea, status mental menurun, pasien dalam keadaan hampir kolaps akibat kelelahan yang disebabkan usdaha bernafas yang sulit).

Rasional : Hal – hal ini menunjukan dibutuhkannya intubasi  endotrakheal dan pemasangan ventilator me kanik.

h.      Instruksikan klien pada metode yang tepat dalam mengontrol batuk.

·         Nafas dalam dan hembuskan perlahan sambil duduk setegak mungkin .

Rasional : Duduk tegak menggeser organ abdominal menjauhi paru, memungkinkan ekspansi paru lebih besar.

·         Gunakan nafas diafragmatik.

a.                               Rasional : Pernafasan diafragmatik menurunkan frekuensi pernafasan dan meningkatkan ventilasi alveolar. ·         Tahan nafas selama  3 – 5 detik, kemudian hembuskan secara perlahan melalui mulut dan nafas kedua, Tahan dan batukan dari dada (bukan dari belakang mulut / tenggorok).

Rasional : Peningkatan volume udara dalam paru meningkatkan pengeluaran secret.

·         Auskualtasi  paru sebelum dan sesudah tindakan .

Rasional : Membantu mengevaluasi keberhasilan tindakan.

i.        Tetap berada di smping p[asien atau minta seseorang untuk mendampinginya sampai gawat nafas mulai berkurang. Pertahankan pendekatan yang tenang dan percaya diri.

Rasional:  ansietas akan terkontrol apabila pasien merasa ditangani oleh tim kesehatan yang kompeten.

j.        Batasai pengunjung sampai gawat nafas teratasi.

Rasional: pengunjung dapat menjadi sumber stress.

k.      Gunakan penjelasan yang mudah dan singkat bila memberikan informasi atau instruksi. Jelaskan tujuan dari semua pengobatan dan pemeriksaan diagnostik.

Rasional: tingkat kecemasan yang tinggi menghambat pembelajaran. Penjelasan tentang apa yang diharapkan membantu mengontrol cemas.



DAFTAR PUSTAKA.
  
Carpenito,J,L (1999). “ Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan “ Edisi 2

D.D.Ignatavicius dan M.V.Bayne (1991),” Medical Surgical Nursing “ , A Nursing Process Approach, W. B. Saunders Company, Philadelpia

Engram, Barbara (1999) “ Rencana Asuhan Keperawatan Medical bedah “ Vol. 1.

FKUI(1999) , “ Kapita Selecta Kedokteran “   Edisi III. Vol. 1.

Marllyn E. Doengoes (1987), “ Nursing Care Plan “ , Fa. Davis Company, Philadelpia.

Sundaru, Heru (1995), “Asma, Apa dan BagaimanaPengobatannya “. Edisi III.   

 
I.             KONSEP MEDIS  

A.       Pengertian
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tubeculosis.

B.        Proses Penularan
Tuberkulosis tergolong airborne disease yakni penularan melalui droplet nuclei yang dikeluarkan ke udara oleh individu terinfeksi dalam fase aktif. Setiapkali penderita ini batuk dapat mengeluarkan 3000 droplet nuclei. Penularan umumnya terjadi di dalam ruangan dimana droplet nuclei dapat tinggal di udara dalam waktu lebih lama. Di bawah sinar matahari langsung basil tuberkel mati dengan cepat tetapi dalam ruang yang gelap lembab dapat bertahan sampai beberapa jam. Dua faktor penentu keberhasilan pemaparan Tuberkulosis pada individu baru yakni konsentrasi droplet nuclei dalam udara dan panjang waktu individu bernapas dalam udara yang terkontaminasi tersebut di samping daya tahan tubuh yang bersangkutan.
Di   samping    penularan    melalui    saluran    pernapasan    (paling   sering),  M. tuberculosis juga dapat masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit (lebih jarang).

 C.       Patofisiologi
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveoli biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil karena gumpalan yang lebih besar cenderung tertahan di rongga hidung dan dan tidak menyebabkan penyakit (Dannenberg, 1981 dikutip dari Price, 1995). Setelah berada dalam ruang alveolus (biasanya di bagian bawah lobus atas atau di bagian atas lobus bawah) basil tuberkulosis ini membangkitkan reaksi peradangan. Lekosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan mefagosit bakteri tetapi tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari-hari pertama maka lekosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala-gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya tanpa menimbulkan kerusakan jaringan paru atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui kelenjar limfe regional. Makrofag yang mengalami infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya berlangsung selama 10-20 hari.

Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat seperti keju, lesi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi disekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblas menimbulkan respon berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa, membentuk jaringan parut yang akhirnya membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.

Lesi primer paru-paru disebut fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar limfe regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Kompleks Gohn yang mengalami perkapuran ini dapat dilihat pada orang sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan radiogram rutin.

Respon lain yang terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan dimana bahan cair lepas ke dalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke percabangan trakeobronkial. Proses ini dapat terulang kembali pada bagian lain dari paru atau basil dapat terbawa ke laring, telinga tengah atau usus.

Kavitas kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat dengan perbatasan bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran yang ada dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.

Penyakit dapat menyebar melalui saluran limfe atau pembuluh darah (limfohematogen). Organisme yang lolos dari kelenjar limfe akan mencapai aliran darah dalam jumlah yang lebih kecil yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain (ekstrapulmoner). Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberkulosis milier. Ini terjadi bila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem vaskuler dan tersebar ke dalam sistem vaskuler ke organ-organ tubuh.

D.       Gambaran Klinik 
Tuberkulosis sering dijuluki “the great imitator” yaitu suatu penyakit yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan  bahkan kadang-kadang asimtomatik. Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, gejala respiratorik dan gejala sistemik: 
1.      Gejala respiratorik, meliputi:
  1.1  Batuk
  Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.
  1.2  Batuk darah
  Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau bercak-bercak darak, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darak terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.
  1.3  Sesak napas
  Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-lain.
  1.4  Nyeri dada
  Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena.

2.      Gejala sistemik, meliputi:
  2.1  Demam
  Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam hari mirip demam influeza, hilang timbul dan makin lama makin panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin pendek.
  2.2  Gejala sistemik lain
  Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan serta malaise.

Timbulnya gejala biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, sesak napas walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai gejala pneumonia.

E.        Klasifikasi
Klasifikasi TB Paru dibuat berdasarkan gejala klinik, bakteriologik, radiologik dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini penting karena merupakan salah satu faktor determinan untuk menetapkan strategi terapi. Sesuai dengan program Gerdunas P2TB klasifikasi TB Paru dibagi sebagai berikut:

1.      TB Paru BTA Positif dengan kriteria:
  -     Dengan atau tanpa gejala klinik
  -     BTA positif: mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1 kali disokong biakan positif 1 kali atau disokong radiologik positif 1 kali.
  -     Gambaran radiologik sesuai dengan TB paru.

2.      TB Paru BTA Negatif dengan kriteria:
  -     Gejala klinik dan gambaran radilogik sesuai dengan TB Paru aktif
  -     BTA negatif, biakan negatif tetapi radiologik positif.
  
3.      Bekas TB Paru dengan kriteria:
  -     Bakteriologik (mikroskopik dan biakan) negatif
  -          Gejala klinik tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru.
  -          Radiologik menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan serial foto yang tidak berubah.
  -          Ada riwayat pengobatan OAT yang adekuat (lebih mendukung).
  
F.        Terapi
Tujuan pengobatan pada penderita TB Paru selain untuk mengobati juga mnecegah kematian, mencegsah kekambuhan atau resistensi terhadap OAT serta memutuskan mata rantai penularan. Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri dari obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, INH, Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol. Sedang jenis obat tambahan adalah Kanamisin, Kuinolon, Makrolide dan Amoksisilin + Asam Klavulanat, derivat Rifampisin/INH. Cara kerja, potensi dan dosis OAT utama dapat dilihat pada tabel berikut:

                                                                                Rekomendasi Dosis (mg/kg BB)
Obat Anti TB Esensial          Aksi           Potensi            Per Hari             Per Minggu
                                                                                                           3 x     2 x
Isoniazid (H)                  Bakterisidal     Tinggi                 5                    10      15
Rifampisin (R)               Bakterisidal      Tinggi               10                    10      10
Pirasinamid (Z)              Bakterisidal     Rendah              25                    35      50
Streptomisin (S)            Bakterisidal     Rendah              15                    15       15
Etambutol (E)              Bakteriostatik   Rendah              15                     30       45
         
Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu berdasarkan lokasi tuberkulosa, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologik, hapusan dahak dan riwayat pengobatan sebelumnya. Di samping itu perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai Directly Observed Treatment Short Course  (DOTS) yang direkomendasikan oleh WHO yang terdiri dari lima komponen yaitu:

1.         Adanya komitmen politis berupa dukungan pengambil keputusan dalam penanggulangan TB.

2.         Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung sedang pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologis dan kultur dapat dilaksanakan di unit pelayanan yang memiliki sarana tersebut.

3.         Pengobatan TB dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) khususnya dalam 2 bulan pertama dimana penderita harus minum obat setiap hari.

4.         Kesinambungan ketersediaan paduan OAT jangka pendek yang cukup.

5.         Pencatatan dan pelaporan yang baku.

G.       Komplikasi
Pneumothorax pada Tuberkulosis Paru Pneumothorax adalah keadaan dimana terdapat udara dalam rongga pleura. Normalnya pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa mengembang terhadap rongga dada. Udara masuk dalam rongga pleura melalui 3 jalan, yakni:
  1.         Udara atmosfir masuk ke dalam rongga pleura melalui penetrasi di dinding dada misalnya pada trauma (pneumothorax traumatik).
  2.         Pembentukan gas oleh mikroorganisme dalam dinding pleura pada penyakit ifeksi paru (pneumothorax spontan)
  3.         Pneumothorax artifisial yang sengaja dilakukan melalui tidakan pembedahan  pada trauma.

Penumothorax pada TB paru merupakan pneumothorax spontan yang timbul akibat nekrosis jaringan yang menjalar sampai pinggir jaringan parut parenkim paru, membentuk bulla yang selanjutnya robek ke dalam pleura.
Gejala Klinis Pneumothorax:

Keluhan dan gejala penumothorax tergantung pada besarnya lesi dan ada tidaknya komplikasi penyakit paru. Gejala bervariasi dari asimtomatik yang hanya dapat dideteksi melalui foto thorax sampai timbulnya gejala utama berupa rasa nyeri tiba-tiba dan bersifat unilateral. Pada pemeriksaan fisik didapatkan perkusi yang hipersonor, fremitus melemah sampai menghilang, suara napas melemah sampai menghilang pada sisi yang sakit.

Pada lesi yang lebih besar atau pada tension pneumothorax trakea dan mediastinum dapat terdorong ke sisi kontralateral. Diafragma tertekan ke bawah, pada sisi yang sakit gerakan pernapasan terbatas. Fungsi respirasi menurun sehingga dapat terjadi hipoksemia arterial dan curah jantung menurun.

Di samping berdasarkan gambaran klinis di atas, diagnosis dapat lebih meyakinkan melalui foto thorax dengan tampaknya bayangan udara dari pneumothorax yang berbentuk cembung dan memisahkan pleura parietalis dengan pleura viseralis.

II.          FOKUS PENGKAJIAN KEPERAWATAN   A.       Riwayat Keperawatan dan Pengkajian Fisik: Berdasarkan klasifikasi Doenges dkk. (2000) riwayat keperawatan yang perlu dikaji adalah:

1.         Aktivitas/istirahat:

Gejala:

-      Kelelelahan umum dan kelemahan

-             Dispnea saat kerja maupun istirahat

-             Kesulitan tidur pada malam hari atau demam pada malam hari, menggigil dan atau berkeringat

-             Mimpi buruk

Tanda:

-             Takikardia, takipnea/dispnea pada saat kerja

-             Kelelahan otot, nyeri, sesak (tahap lanjut)

2.         Sirkulasi

Gejala:

-      Palpitasi

Tanda:

-             Takikardia, disritmia

-             Adanya S3 dan S4, bunyi gallop (gagal jantung akibat effusi)

-             Nadi apikal (PMI) berpindah oleh adanya penyimpangan mediastinal

-             Tanda Homman (bunyi rendah denyut jantung akibat adanya udara dalam mediatinum)

-             TD: hipertensi/hipotensi

-             Distensi vena jugularis

3.         Integritas ego:

Gejala:

-             Gejala-gejala stres yang berhubungan lamanya perjalanan penyakit, masalah keuangan, perasaan tidak berdaya/putus asa, menurunnya produktivitas.

Tanda:

-             Menyangkal (khususnya pada tahap dini)

-             Ansietas, ketakutan, gelisah, iritabel.

-             Perhatian menurun, perubahan mental (tahap lanjut)

4.         Makanan dan cairan:

Gejala:

-             Kehilangan napsu makan

-             Penurunan berat badan

Tanda:

-             Turgor kulit buruk, kering, bersisik

-             Kehilangan massa otot, kehilangan lemak subkutan

5.         Nyeri dan Kenyamanan:

Gejala:

-             Nyeri dada meningkat karena pernapsan, batuk berulang

-             Nyeri tajam/menusuk diperberat oleh napas dalam, mungkin menyebar ke bahu, leher atau abdomen.

Tanda:

-             Berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, gelisah.

6.         Pernapasan:

Gejala:

-             Batuk (produktif atau tidak produktif)

-             Napas pendek

-             Riwayat terpajan tuberkulosis dengan individu terinfeksi

Tanda:

-             Peningkatan frekuensi pernapasan

-             Peningkatan kerja napas, penggunaan otot aksesori pernapasan pada dada, leher, retraksi interkostal, ekspirasi abdominal kuat

-             Pengembangan dada tidak simetris

-             Perkusi pekak dan penurunan fremitus, pada pneumothorax perkusi hiperresonan di atas area yang telibat.

-             Bunyi napas menurun/tidak ada secara bilateral atau unilateral

-             Bunyi napas tubuler atau pektoral di atas lesi

-             Crackles di atas apeks paru selama inspirasi cepat setelah batuk pendek (crackels posttussive)

-             Karakteristik sputum hijau purulen, mukoid kuning atau bercak darah

-             Deviasi trakeal

7.         Keamanan:

Gejala:

-             Kondisi penurunan imunitas secara umum memudahkan infeksi sekunder.

Tanda:

-             Demam ringan atau demam akut.

8.         Interaksi Sosial:

Gejala:

-             Perasaan terisolasi/penolakan karena penyakit menular

-             Perubahan aktivitas sehari-hari karena perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran

9.         Penyuluhan/pembelajaran:

Gejala:

-             Riwayat keluarga TB

-             Ketidakmampuan umum/status kesehatan buruk

-             Gagal untuk membaik/kambuhnya TB

-             Tidak berpartisipasi dalam terapi.

  B.        Tes Diagnostik Tes diagnostik yang dilakukan diuraikan pada tabel berikut:

Jenis Pemeriksaan

Interpretasi Hasil

Sputum:
 -Kultur  --> Mycobacterium tuberculosis positif pada tahap aktif, penting untuk menetapkan diagnosa pasti dan melakukan uji kepekaan terhadap obat.

-Ziehl-Neelsen  --> BTA positif

Tes Kulit (PPD, Mantoux, Vollmer) --> Reaksi positif (area indurasi 10 mm atau lebih) menunjukkan infeksi masa lalu dan adanya antibodi tetapi tidak berarti untuk menunjukkan keaktivan penyakit.

Foto thorax --> Dapat menunjukkan infiltrasi lesi awal pada area paru, simpanan kalsium lesi sembuh primer, efusi cairan, akumulasi udara, area cavitas, area fibrosa dan penyimpangan struktur mediastinal.

Histologi atau kultur jaringan (termasuk bilasan lambung, urine, cairan serebrospinal, biopsi kulit) --> Hasil positif dapat menunjukkan serangan ekstrapulmonal

Biopsi jarum pada jaringan paru --> Positif untuk gralunoma TB, adanya giant cell menunjukkan nekrosis. 

Darah:
 -LED --> Indikator stabilitas biologik penderita, respon terhadap pengobatan dan predeksi tingkat penyembuhan. Sering meningkat pada proses aktif.

-Limfosit --> Menggambarakan status imunitas penderita (normal atau supresi)

-Elektrolit --> Hiponatremia dapat terjadi akibat retensi cairan pada TB paru kronis luas.

-Analisa Gas Darah --> Hasil bervariasi tergantung lokasi dan beratnya kerusakan paru 

Tes faal paru --> Penurunana kapasitas vital, peningkatan ruang mati, peningkatan rasio udara residu dan kapasitas paru total, penurunan saturasi oksigen sebagai akibat dari infiltrasi parenkim/fibrosis, kehilangan jaringan paru dan penyaki pleural

III.    DIAGNOSA KEPERAWATAN 1.         Risiko tinggi terhadap infeksi sekunder (reaktivasi) b/d penurunan imunitas, penurunan kerja silia, stasis sekret, malnutrisi, kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan patogen.

2.         Pola pernapasan tak efektif b/d penurunan ekspansi paru (akumulasi udara, nyeri dada, proses inflamasi.)

3.         Bersihan jalan napas tak efektif b/d sekresi mukus yang kental, hemoptisis, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal/faringeal.

4.         (Risiko tinggi) Gangguan pertukaran gas b/d penurunan jaringan efektif paru, atelektasis, kerusakan membran alveolar-kapiler, edema bronkial.

5.         Risiko tinggi trauma/henti napas b/d pemasangan sistem drainase dada, kurang pengetahuan tentang pengamanan drainase.

6.         Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia, peningkatan status metabolisme (penyakit kronis), kelemahan, dispnea, asupan yang tidak adekuat.

7.         Kurang pengetahuan (tentang proses terapi, kemungkinan kambuh dan perawatan penyakit) b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.

IV.    INTERVENSI KEPERAWATAN  4.1     Risiko tinggi terhadap infeksi sekunder (reaktivasi) b/d penurunan imunitas, penurunan kerja silia, stasis sekret, malnutrisi, kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan patogen.

Intervensi dan Rasional:

1.         Kaji fase patologis penyakit (aktif/tidak aktif) dan potensi penyebaran infeksi melalui droplet udara selama batuk, bersin, meludah, bicara, tertawa.

-      Membantu klien menyadari/menerima perlunya mematuhi program pengobatan untuk mencegah reaktivasi dan komplikasi.

2.         Jelaskan penyebab penyakit, proses dan upaya pencegahan penularan yang dapat dilakukan klien (Anjurkan klien untuk batuk/bersin dan mengeluarkan sekret pada tisu sekali pakai dan menghindari meludah).

-      Pemahaman klien tentang bagaimana penyakit disebarkan dan kesadaran kemungkinan transmisi dapat membantu klien dan orang terdekat mengambil langkah untuk mencegah penularan kepada orang lain.

3.         Identifikasi orang lain yang berisiko (anggota keluarga, teman karib)

-     Orang-orang yang terpajan ini perlu program terapi obat untuk mencegah penyebaran/terjadinya infeksi.

4.         Identifikasi faktor risiko individu terhadap reaktivasi tuberkulosis (alkoholisme, merokok, malnutrisi, minum obat imunosupresant/kortikosteroid, adanya penyulit DM)

-     Pengetahuan tentang faktor ini membantu pasien untuk mengubah pola hidup dan menghindari hal-hal yang dapat menghambat penyembuhan penyakit.

5.         Awasi peningkatan suhu tubuh klien

-     Reaksi demam merupakan indikator adanya infeksi lanjut.

6.         Tekankan pentingnya melanjutkan terapi obat sesuai jangka waktu yang diprogramkan.

-     Fase aktif berakhir 2-3 hari setelah periode kemoterapi awal tetapi pada caverne atau lesi yang luas risiko penyebaran infeksi dapat berlanjut sampai 3 bulan.

7.         Tekankan pentingnya mengikuti pemeriksaan ulangan (kultur, BTA, foto thoraks) sesuai jadual yang ditetapkan.

-     Pemeriksaan diagnostik tersebut merupakan satu-satunya alat evaluasi keberhasilan terapi, bukan berdasarkan kemajuan klinis penyakit.

4.2        Pola pernapasan tak efektif b/d penurunan ekspansi paru (akumulasi udara dalam rongga pleura, nyeri dada, proses inflamasi)

Intervensi dan Rasional:

1.         Identifikasi etiologi/faktor pencetus (kolaps spontan, trauma, keganasan, infeksi, komplikasi ventilasi mekanik)

-     Pemahaman penyebab kolaps paru penting untuk pemasangan WSD yang tepat dan memilih tindakan terapeutik lainnya.

2.         Kaji fungsi pernapasan, catat kecepatan pernapasan, dispnea, sianosis dan perubahan tanda vital

-     Distres pernapasan dan perubahan tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stres fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syok akibat hipoksia.

3.         Auskultasi bunyi napas.

-     Bunyi napas dapat menurun/tak ada pada area kolaps yang meliputi satu lobus, segmen paru atau seluruh area paru (unilateral).

4.         Kaji pengembangan dada dan posisi trakea.

-     Ekspansi paru menurun pada area kolaps. Deviasi trakea ke arah sisi yang sehat pada tension pneumothorax.

5.         Kaji fremitus.

-     Suara dan taktil fremitus menurun pada jaringan yang terisi cairan dan udara seperti pada pneumothorax.

6.         Kaji area nyeri bila klien batuk atau napas dalam.

-     Sokongan terhadap dada dan otot abdominal membuat batuk lebih efektif dan mengurangi trauma.

7.         Pertahankan posisi nyaman (biasanya dengan meninggikan kepala tempat tidur). Balik ke sisi yang sakit dan dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.

-     Meningkatkan inspirasi minimal, meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang sehat.

8.         Bila dipasang WSD:

8.1   Periksa pengontrol penghisap, jumlah hisapan yang benar.

-   Mempertahankan tekanan negatif intrapleural yang meningkatkan ekspansi paru optimum.

8.2   Periksa batas cairan pada botol penghisap, pertahankan pada batas yang ditentukan.

-   Air dalam botol penampung berfungsi sebagai sekat yang mencegah udara atmosfir masuk kedalam pleura.

8.3   Observasi gelembung udara dalam botol penampung

-   Gelembung udara selama ekspirasi menunjukkan keluarnya udara dari pleura sesuai dengan yang diharapkan. Gelembung biasanya menurun seioring dengan bertambahnya ekspansi paru. Tidak adanya gelembung udara dapat menunjukkan bahwa ekspansi paru sudah optimal atau tersumbatnya selang drainase.

9.         Setelah WSD dilepas, tutup sisi lubang masuk dengan kasa steril, observasi tanda yang dapat menunjukkan berulangnya pneumothorax seperti napas pendek, keluhan nyeri.

-     Deteksi dini terjadinya komplikasi penting seperti berulangnya pneumothorax.

4.3        Bersihan jalan napas tak efektif b/d sekresi mukus yang kental, hemoptisis, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal/faringeal.

Intervensi dan Rasional:

1.         Kaji fungsi pernapasan (bunyi napas, kecepatan, irama, kedalaman dan penggunaan otot asesori)

-     Penurunan bunyi napas menunjukkan atelektasis, ronkhi menunjukkan akumulasi sekret dan ketidakefektifan pengeluaran sekresi yang selanjutnya dapat menimbulkan penggunaan otot aksesori dan peningkatan kerja pernapasan..

2.         Kaji kemampuan mengeluarkan sekresi, catat karakter, volume sputum dan adanya hemoptisis.

-     Pengeluaran sulit bila sekret sangat kental (efek infeksi dan hidrasi yang tidak adekuat). Sputum berdarah bila ada kerusakan (kavitasi) paru atau luka bronkial dan memerlukan intervensi lebih lanjut.

3.         Berikan posisi semi/fowler tinggi dan bantu pasien latihan napas dalam dan batuk yang efektif.

-     Posisi fowler memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya bernapas. Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan sekret ke dalam jalan napas besar untuk dikeluarkan.

4.         Pertahankan asupan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali tidak diindikasikan.

-     Hidrasi yang adekuat membantu mengencerkan sekret dan mengefektifkan pembersihan jalan napas.

5.         Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, bila perlu lakukan penghisapan (suction)

-     Mencegah obstruksi dan aspirasi. Penghisapan diperlukan bila pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.

6.         Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi seperti agen mukolitik, bronkodilator dan kortikosteroid.

-          Agen mukolitik menurunkan kekentalan dan perlengketan sekret paru untuk memudahkan pembersihan.

-          Bronkodilator meningkatkan diameter lumen percabangan trakeobronkial sehingga menurunkan tahanan terhadap aliran udara.

-          Kortikosteroid berguna pada keterlibatan luas dengan hipoksemia dan bila reaksi inflamasi mengancam kehidupan.

4.4        (Risiko tinggi) Gangguan pertukaran gas b/d penurunan jaringan efektif paru, atelektasis, kerusakan membran alveolar-kapiler, edema bronkial.

Intervensi dan Rasional:

1.         Kaji dispnea, takipnea, bunyi napas, peningkatan upaya pernapasan, ekspansi thorax dan kelemahan.

-     TB paru mengakibatkan efek luas pada paru dari bagian kecil bronkopenumonia sampai inflamasi difus yang luas, nekrosis, efusi pleura dan fibrosis yang luas. Efeknya terhadap pernapasan bervariasi dari gejala ringan , dispnea berat dampai distres pernapasan.

2.         Evaluasi perubahan tingkat kesadaran, catat sianosis dan perubahan warna kulit, termasuk membran mukosa dan kuku.

-     Akumulasi sekret dan berkurangnya jaringan paru yang sehat dapat menggangu oksigenasi organ vital dan jaringan tubuh.

3.         Tunjukkan dan dorong pernapasan bibir selama ekspirasi khususnya untuk pasien dengan fibrosis dan kerusakan parenkim paru.

-     Membuat tahanan melawan udara luar untuk mencegah kolaps/penyempitan jalan napas sehingga membantu menyebarkan udara melalui paru dan mengurangi napas pendek

4.         Tingkatkan tirah baring, batasi aktivitas dan bantu kebutuhan perawatan diri sehari-hari sesuai keadaan pasien.

-     Menurunkan konsumsi oksigen selama periode penurunan pernapsan dan dapat menurunkan beratnya gejala.

5.         Kolaborasi pemeriksaan AGD

-     Penurunan kadar O2 (PaO2) dan atau saturasi, peningkatan PaCO2 menunjukkan kebutuhan untuk intervensi/perubahan program terapi.

6.         Kolaborasi pemberian oksigen sesuai kebutuhan tambahan.

-          Terapi oksigen dapat mengoreksi hipoksemia yang terjadi akibat penurunan ventilasi/menurunnya permukaan alveolar paru.

4.5        Risiko tinggi trauma/henti napas b/d pemasangan sistem drainase dada, kurang pengetahuan tentang pengamanan drainase.

Intervensi dan Rasional:

1.         Diskusikan dengan klien tujuan/fungsi pemasangan drainase dada.

-     Informasi tentang bagaimana sistem kerja dan tujuan drainase memberi rasa tenang kepada klien dan mengurangi ansietas.

2           Pastikan keamanan unit drainase (sambungan selang, kemungkinan terlepas, terlipat/tersumbat, teregang)

-     Memastikan selang tidak terlepas atau teregang yang dapat menimbulkan rasa nyeri pada klien serta memastikan funsi drainase berjalan semestinya.

3.     Awasi sisi lubang insersi pemasangan selang, amati kondisi kulit, ganti kasa pentup steril setiap hari atau setiap kali bila kotor atau basah.

-     Tindakan deteksi dini komplikasi pemasangan drainase dan mencegah komplikasi lebih lanjut.

4.     Pastikan keamanan pemasangan drainase bila klien harus meninggalkan unit perawatan untuk tujuan pemeriksaan atau terapi (periksa batas cairan dalam botol, ada tidaknya gelembung udara, perlu tidaknya selang diklem sementara).

-     Meningkatkan kontinuitas evaluasi optimal selama pemindahan.

4.6        Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia, peningkatan status metabolisme (penyakit kronis), kelemahan, dispnea, asupan yang tidak adekuat.

Intervensi dan Rasional:

1.     Kaji status nutrisi klien, turgor kulit, berat badan, dan derajat penurunan berat badan, integritas mukosa oral, kemampuan menelan, riwayat mual/muntah dan diare.

-     Memvalidasi dan menetapkan derajat masalah  untuk menetapkan pilihan intervensi yang tepat.

2.     Fasilitasi klien memperoleh diet biasa yang disukai klien (sesuai indikasi)

-     Memperhitungkan keinginan individu dapat memperbaiki asupan nutrisi.

3.     Pantau asupan dan haluaran, timbang berat badan secara periodik (sekali seminggu).

-     Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan.

4.     Lakukan dan ajarkan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan serta sebelum dan sesudah intervensi/pemeriksaan peroral.

-     Menurunkan rasa tak enak karena sisa makanan, sisa sputum atau obat untuk mengobatan sistem respirasi yang dapat merangsang pusat muntah.

5.     Fasilitasi pemberian diet TKTP, berikan dalam porsi kecil tapi sering.

-     Memaksimalkan asupan nutrisi tanpa kelelahan dan energi besar serta menurunkan iritasi saluran cerna.

6.     Kolaborasi dengan ahli diet untuk menetapkan komposisi dan jenis diet yang tepat.

-     Merencanakan diet dengan kandungan nutrisi yang adekuat untuk memenuhi peningkatan kebutuhan energi dan kalori sehuvungan dengan status hipermetabolik klien.

 7.    Kolaborasi untuk pemeriksaan laboratorium khususnya BUN, protein serum dan albumin.

-     Menilai kemajuan terapi diet dan membantu perencanaan intervensi selanjutnya.

4.7        Kurang pengetahuan (tentang proses terapi, kemungkinan kambuh dan perawatan penyakit) b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.

Intervensi dan Rasional:

1.     Kaji kemampuan klien untuk mengikuti pembelajaran (tingkat kecemasan, kelelahan umum, pengetahuan klien sebelumnya, suasana yang tepat).

-     Keberhasilan proses pembelajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik, emosional dan lingkugan yang kondusif.

2.     Jelaskan tentang dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan dan alasan mengapa pengobatan TB berlangsung dalam waktu lama.

-     Meningkatkan partisipasi klien dalam program pengobtan dan mencegah putus berobat karena membaiknya kondisi fisik klien sebelum jadual terapi selesai.

3.     Ajarkan dan nilai kemampuan klien untuk mengidentifikasi gejala/tanda reaktivasi penyakit (hemoptisis, demam, nyeri dada, kesulitan bernapas, kehilangan pendengaran, vertigo).

-     Dapat menunjukkan pengaktifan ulang proses penyakit dan efek obat yang memerlukan evaluasi lanjut.

4.     Tekankan pentingnya mempertahankan asupan nutrisi yang mengandung protein dan kalori yang tinggi serta asupan cairan yang cukup setiap hari.

-     Diet TKTP dan cairan yang adekuat memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik tubuh. Pendidikan kesehatan tentang hal tersebut meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan penyakitnya.


DAFTAR PUSTAKACarpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed.6, EGC, Jakarta

Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta

Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4, EGC, Jakarta

Soedarsono (2000), Tuberkulosis Paru-Aspek Klinis, Diagnosis dan Terapi, Lab. Ilmu Penyakit Paru FK Unair/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.

Soeparman & Waspadji (1990), Ilmu Penyakit Dalam, BP FKUI, Jakarta.
world health